Rabu, 04 November 2009

Renungan dari Bilik Rantau

PANTASKAH INI DIRENUNGKAN ??
(bukan puisi, bukan cerpen; hanya mengikuti kata hati)

Beberapa waktu belakangan ini, entah mengapa saya senang sekali memikirkan, atau tepatnya baru menyadari (agak terlambat memang, tapi tak mengapa!) bahwa dalam hidup ini, sesungguhnya segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan jalurnya. Hidup telah mengatur agar setiap kepingan peristiwa untuk setiap orang, setiap keluarga, setiap masyarakat, selalu bersinggungan dengan waktunya sendiri-sendiri. Peristiwa-peristiwa itu seperti disimpan dalam bentuk bongkahan es di freezer kulkas kita, dan akan mencair begitu kita kehausan dan ingin minum lalu mengambil bongkahan es itu, lalu memasukkannya dalam gelas berisi sirup, teh, coklat, coca-cola, bir, dan sebagainya. Pada waktu yang telah ditentukan, peristiwa-peristiwa itu akan pecah seperti ledakan bom. Partikel-partikel peristiwa itu akan memecah lalu menyebar mengenai orang-orang. Tetapi hanya orang-orang yang telah ditetapkan untuk terkena ledakan itu saja yang bisa merasakan efek ledakan itu.
Agama menyebutnya takdir, kodrat alam, kehendak Tuhan, dan lain sebagainya. Tetapi sesungguhnya hal itu adalah esensi hidup itu sendiri. Artinya, manusia yang memilih tak beragama akan merasakan dan menikmati hal yang sama dengan manusia yang paling intim menyembah tuhannya sekalipun. Esensi hidup yang tak memihak itu berlaku bagi semua manusia yang tinggal di kolong langit. Entah itu pengikut Buddha, umat Muhammad, pecinta Yesus Kistus dari Nazareth, bahkan penyembah batu, hamba matahari, dan pelayan raja iblis Lucifer sekalipun. Hanya saja, cara menyikapi esensi hidup dengan konsekuensi manis dan pahit, hitam dan putih, terang dan gelap, akan berbeda-beda, tergantung seberapa intim manusia itu dengan langit, dan seberapa optimis dia memandang esensi hidup itu.
Terang dan gelap, siang dan malam, pagi dan petang datang bergantian. Matahari dan bulan muncul saling bersusulan dengan waktu yang ditetapkan mereka sendiri. Tak ada satu tangan pun yang dapat mengubah jalur, tempat, dan waktunya. Segala yang dimulai selalu harus berakhir. Lebih tepatnya, pasti berakhir. Tidak ada kata selama-lamanya dalam hidup manusia yang telah terstempel esensi hidup. Kesementaraan semuanya absolut. Yang selama-lamanya hanya esensi hidup itu sendiri.
Sebenarnya, sejak manusia masih berwujud sel telur yang baru sepersekian detik dibuahi kecambah sperma yang nakal dan hiperaktif, esensi hidup itu telah mengikat kuat dan mendakwa manusia pada suatu jaring laba-laba berkekuatan superlengket, lebih kuat dari senjata milik Spider Man. Manusia telah diikat dengan benang jaring laba-laba tak terputuskan bernama hukuman mati, seperti terdakwa bom Bali, hanya saja waktunya tidak diketahui. Tak ada alasan untuk menolak ketika waktu eksekusi itu datang dengan berjuta variasi bentuk. Tak ada perbuatan baik atau tidak baik yang bisa mengganti hukuman mati menjadi hanya hukuman cubit, hukuman jitak, dan hukuman bebas murni. Tak ada sogok-menyogok seperti yang dilakukan para pencuri uang rakyat. Hukuman mati itu melekat seperti rambut mata dan kelopaknya, seperti bintang dengan kerlipnya.
Manusia tak perlu kuatir atau cemas mengingat usia yang sudah menginjak empatpuluhan tapi pangeran atau putri impian tak kunjung datang. Itu berarti, esensi hidup memberi teka-teki yang nanti akan dijawabnya sendiri. Begitu pula dengan persoalan rambut memutih, pekerjaan tak kunjung mendapat promosi, atau dana yang tak mencukupi untuk membangun rumah impian. Sekali lagi, semua adalah teka-teki hidup yang akan dijawabnya sendiri, suatu saat nanti. Kita hanya perlu mengerjakan hal-hal yang menjadi bagian kita. Selebihnya, hidup akan menentukan putarannya. Tak perlu ngoyo, overpracticed, atau terengah-engah berusaha mencapai target. Esensi hidup tak mengenal target. Ia hanya mengenal harapan dan kesempatan.
Esensi hidup itu memperlakukan hidup manusia seperti lomba lintas alam di gunung-gunung nan hijau. Setiap pesertanya diharuskan menempuh jalur tertentu dengan banyak pos-pos atau tempat berhenti, entah untuk sekadar istirahat, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menentukan nilai akhir, atau malah hanya buang hajat. Setiap pos akan dijadikan titik tolak untuk melangkah ke pos berikutnya sampai tahap akhir lomba itu, ketika kaki mulai terasa melemah, tubuh dehidrasi dan gontai, dan semangat telah mendekati titik nol. Mereka yang menikmatinya akan merasakan esensi hidup dalam hembusan sejuk angin gunung, hijau pepohonan, romantisme padang savanna, dan lain sebagainya. Sementara mereka yang merasa terpaksa akan merasakannya sebagai siksaan lalu mulai memandang ke belakang, meributkan soal jarak yang sudah ditempuh tapak kaki, merengek tentang sepatu yang mulai membuat lecet kaki, atau bahkan terisak karena tak sanggup lagi menghabiskan sisa jarak tempuh dengan sukarela, lalu memilih berbalik, terbang seperti burung dan pulang ke sarang masing-masing, atau terduduk dan menangis pasrah, berharap ada capung besi yang lewat dan menyelamatkan mereka. Tak semua orang akan mencapai kualitas yang sama. Tak semua orang mencapai garis akhir dengan standar nilai yang sama idealnya atau sesuai pos-pos yang telah ditentukan.
Dalam hidup, tak ada kebetulan, tak pernah dan tak harus ada kejutan.oleh karena itu, firasat, dugaan, dan ramalan tak lebih dari kosong belaka. Semuanya terjadi karena memang dipersiapkan untuk terjadi. Itulah esensi hidup. Hanya soal mulai, dan selesai. Berakhir. Semua manusia berlomba mencari jalan untuk menghindari, atau paling tidak mengulur waktu lebih lama. Tetapi akhir tetap akhir. Tak ada kompromi. Tak ada jalan kembali. Ketika akhir itu datang, hanya ada sedikit sekali manusia yang benar-benar siap untuk pasrah dan menyerah kalah. Akhir tetaplah akhir. Tak ada pilihan, tak ada keberatan. Tak ada alasan, tak ada pengertian, dan pertimbangan. Tak ada fasilitas. Tak ada katebelece. Baik pejabat yang naik sedan hitam berharga biaya hidup sejuta tahun bagi seorang pengemis di lampu merah; perempuan dan istri yang paling setia dan yang kurang setia; bocah yang tak mampu membedakan warna atau profesor yang semakin banyak tahu semakin lupa; mereka yang merasa diri normal dan yang bergumul melepaskan diri dari disorientasi tertentu; ulama, budak, homoseksual, lesbian, bayi, manula, waria, artis, gelandangan, konglomerat, presiden, teroris, semuanya tak akan luput. Itulah lagu berjudul esensi hidup. Harkat, kodrat, dan takdir dalam esensi hidup adalah satu hal : akhir. Tak peduli siapa dan bagaimana manusia itu, atau bagaimana caranya berakhir. Akhir, meski yang paling terakhir sekalipun, adalah tetap akhir. (YogyakartaCikDiTiroyanggelisah,01November2009,10.44am)

Tidak ada komentar:

Life in Eye Sight

Life in Eye Sight
Your Eyes is Your Whole World

Arsip Blog